Hippocrates
The best physician is the one who has providence to tell to the patients according to his knowledge the present situation, what has happened before and what is going to happen in the future
Pahamilah kutipan kalimat yang diucapkan oleh Hippocrates diatas niscaya anda akan mengerti bagaimana untuk menjadi seorang dokter yang baik. Namun perlu kita sadari bahwa untuk menjai seorang dokter yang baik kita perlu menciptakan suatu proses komunikasi yang efektif dalam hubungan pasien-dokter.
Komunikasi Efektif dalam Hubungan Dokter-Pasien
Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.
Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.
Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan untuk melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien.
Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).
Menurut Kurzt (1998), dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang digunakan:
- Disease centered communication style atau doctor centered communication style. Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.
- Illness centered communication style atau patient centered communication style. Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapannya, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya.
Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta kebutuhan pasien, patient centered communication style sebenarnya tidak memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor centered communication style.
Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.
Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic Communication in Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut:
(1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician cognitive capacity to understand patient’s needs),
(2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective sensitivity to patient’s feelings),
(3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to patient).
Sementara, Bylund & Makoul (2002) mengembangkan 6 tingkat empati yang dikodekan dalam suatu sistem (The Empathy Communication Coding System (ECCS) Levels). Berikut adalah contoh aplikasi empati tersebut:
Level 0: Dokter menolak sudut pandang pasien
• Mengacuhkan pendapat pasien
• Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti “Kalau stress ya, mengapa datang ke sini?” Atau “Ya, lebih baik operasi saja sekarang.”
Level 1: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu
• “A ha”, tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan badan, menyiapkan alat, dan lain-lain
Level 2: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit
• Pasien, “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja”
• Dokter, “Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?
8
Level 3: Dokter menghargai pendapat pasien
• “Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau menceritakan lebih jauh apa yang membuat Anda stres?”
Level 4: Dokter mengkonfirmasi kepada pasien
• “Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha Anda untuk menyempatkan berolah raga”
Level 5: Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings and experience) dengan pasien.
• “Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir”
Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien tentang penyakitnya, secara eksplisit.