Senin, 26 Januari 2009

komunikasi efektif dalam hubungan dokter-pasien

Hippocrates

The best physician is the one who has providence to tell to the patients according to his knowledge the present situation, what has happened before and what is going to happen in the future

Pahamilah kutipan kalimat yang diucapkan oleh Hippocrates diatas niscaya anda akan mengerti bagaimana untuk menjadi seorang dokter yang baik. Namun perlu kita sadari bahwa untuk menjai seorang dokter yang baik kita perlu menciptakan suatu proses komunikasi yang efektif dalam hubungan pasien-dokter.

Komunikasi Efektif dalam Hubungan Dokter-Pasien

Komunikasi efektif diharapkan dapat mengatasi kendala yang ditimbulkan oleh kedua pihak, pasien dan dokter. Opini yang menyatakan bahwa mengembangkan komunikasi dengan pasien hanya akan menyita waktu dokter, tampaknya harus diluruskan. Sebenarnya bila dokter dapat membangun hubungan komunikasi yang efektif dengan pasiennya, banyak hal-hal negatif dapat dihindari. Dokter dapat mengetahui dengan baik kondisi pasien dan keluarganya dan pasien pun percaya sepenuhnya kepada dokter. Kondisi ini amat berpengaruh pada proses penyembuhan pasien selanjutnya. Pasien merasa tenang dan aman ditangani oleh dokter sehingga akan patuh menjalankan petunjuk dan nasihat dokter karena yakin bahwa semua yang dilakukan adalah untuk kepentingan dirinya. Pasien percaya bahwa dokter tersebut dapat membantu menyelesaikan masalah kesehatannya.

Kurtz (1998) menyatakan bahwa komunikasi efektif justru tidak memerlukan waktu lama. Komunikasi efektif terbukti memerlukan lebih sedikit waktu karena dokter terampil mengenali kebutuhan pasien (tidak hanya ingin sembuh). Dalam pemberian pelayanan medis, adanya komunikasi yang efektif antara dokter dan pasien merupakan kondisi yang diharapkan sehingga dokter dapat melakukan manajemen pengelolaan masalah kesehatan bersama pasien, berdasarkan kebutuhan pasien.

Namun disadari bahwa dokter dan dokter gigi di Indonesia belum disiapkan untuk melakukannya. Dalam kurikulum kedokteran dan kedokteran gigi, membangun komunikasi efektif dokter-pasien belum menjadi prioritas. Untuk itu dirasakan perlunya memberikan pedoman (guidance) untuk dokter guna memudahkan berkomunikasi dengan pasien dan atau keluarganya. Melalui pemahaman tentang hal-hal penting dalam pengembangan komunikasi dokter-pasien diharapkan terjadi perubahan sikap dalam hubungan dokter-pasien.

Tujuan dari komunikasi efektif antara dokter dan pasiennya adalah untuk mengarahkan proses penggalian riwayat penyakit lebih akurat untuk dokter, lebih memberikan dukungan pada pasien, dengan demikian lebih efektif dan efisien bagi keduanya (Kurtz, 1998).

Menurut Kurzt (1998), dalam dunia kedokteran ada dua pendekatan komunikasi yang digunakan:

- Disease centered communication style atau doctor centered communication style. Komunikasi berdasarkan kepentingan dokter dalam usaha menegakkan diagnosis, termasuk penyelidikan dan penalaran klinik mengenai tanda dan gejala-gejala.

- Illness centered communication style atau patient centered communication style. Komunikasi berdasarkan apa yang dirasakan pasien tentang penyakitnya yang secara individu merupakan pengalaman unik. Di sini termasuk pendapat pasien, kekhawatirannya, harapannya, apa yang menjadi kepentingannya serta apa yang dipikirkannya.

Dengan kemampuan dokter memahami harapan, kepentingan, kecemasan, serta kebutuhan pasien, patient centered communication style sebenarnya tidak memerlukan waktu lebih lama dari pada doctor centered communication style.

Keberhasilan komunikasi antara dokter dan pasien pada umumnya akan melahirkan kenyamanan dan kepuasan bagi kedua belah pihak, khususnya menciptakan satu kata tambahan bagi pasien yaitu empati. Empati itu sendiri dapat dikembangkan apabila dokter memiliki ketrampilan mendengar dan berbicara yang keduanya dapat dipelajari dan dilatih.

Carma L. Bylund & Gregory Makoul dalam tulisannya tentang Emphatic Communication in Physician-Patient Encounter (2002), menyatakan betapa pentingnya empati ini dikomunikasikan. Dalam konteks ini empati disusun dalam batasan definisi berikut:

(1) kemampuan kognitif seorang dokter dalam mengerti kebutuhan pasien (a physician cognitive capacity to understand patient’s needs),

(2) menunjukkan afektifitas/sensitifitas dokter terhadap perasaan pasien (an affective sensitivity to patient’s feelings),

(3) kemampuan perilaku dokter dalam memperlihatkan/menyampaikan empatinya kepada pasien (a behavioral ability to convey empathy to patient).

Sementara, Bylund & Makoul (2002) mengembangkan 6 tingkat empati yang dikodekan dalam suatu sistem (The Empathy Communication Coding System (ECCS) Levels). Berikut adalah contoh aplikasi empati tersebut:

Level 0: Dokter menolak sudut pandang pasien

Mengacuhkan pendapat pasien

Membuat pernyataan yang tidak menyetujui pendapat pasien seperti “Kalau stress ya, mengapa datang ke sini?” Atau “Ya, lebih baik operasi saja sekarang.”

Level 1: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara sambil lalu

“A ha”, tapi dokter mengerjakan hal lain: menulis, membalikkan badan, menyiapkan alat, dan lain-lain

Level 2: Dokter mengenali sudut pandang pasien secara implisit

Pasien, “Pusing saya ini membuat saya sulit bekerja”

Dokter, “Ya...? Bagaimana bisnis Anda akhir-akhir ini?

8

Level 3: Dokter menghargai pendapat pasien

“Anda bilang Anda sangat stres datang ke sini? Apa Anda mau menceritakan lebih jauh apa yang membuat Anda stres?”

Level 4: Dokter mengkonfirmasi kepada pasien

• “Anda sepertinya sangat sibuk, saya mengerti seberapa besar usaha Anda untuk menyempatkan berolah raga”

Level 5: Dokter berbagi perasaan dan pengalaman (sharing feelings and experience) dengan pasien.

• “Ya, saya mengerti hal ini dapat mengkhawatirkan Anda berdua. Beberapa pasien pernah mengalami aborsi spontan, kemudian setelah kehamilan berikutnya mereka sangat, sangat, khawatir”

Empati pada level 3 sampai 5 merupakan pengenalan dokter terhadap sudut pandang pasien tentang penyakitnya, secara eksplisit.

gagal jantung


GAGAL JANTUNG

Gagal jantung (GJ) dalah sindroma klinis (sekumpulan tanda dan gejala), ditandai oleh sesak napas dan fatik (saat istirahat atau saat beraktivitas) yang disesabkan oleh kelainan stuktur dan fungsi jantung (Pangabean,2006).

Gagal jantung juga didefenisikan sebagai Kegagalan jantung memompa darah pada suatu kecepatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan perifer atau kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hanya pada tekanan pengisian jantung yang abnormal (Braunwald, Heart Disease, 5th ed., 1997)

Dulu gagal jantung (GJ) dianggap merupakan akibat dari berkurangnya kontraktilitas dan daya pompa sehingga diperlukan inotropik untuk meningkatkannya dan diuretik serta vasodilator untuk mengurangi beban (un-load). Namun sekarang seiring dengan perkembangan ilmu dunia kedokteran gagal jantung (GJ) dianggap sebagai remodeling progesif akibat baban atau penyakit pada sel otot jantung (moikardium) sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohormonal (neurohormonal blocker) seperti ACE-Inhibitor, Angiotensin reseptor-Bloker atau penyekat beta diutamakan disamping obat kontrovarsial (diuretika dan digitalis) ditambah dengan terapi yang muncul belakangan ini seperti Intra cardiac defibrillator (ICD), bedah rekonstruksi ventrikel kiri (LV reconstruction surgery) dan mioplasti.

Beberapa istilah dalam gagal jantung

1. Gagal jantung sistolik dan diastolic

Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik, foto toraks atau EKG, dan hanya dapat dibedakan dengan eko- Doppler (pangabean, 2007).

Gagal jantungsistolik adalah ketidak mampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menutun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun, dan gejala hipoperfusi lainnya.

Gagal jantung diastolic adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolic didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%.

2. Low output dan high output heart failure

Low output HF disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kalainan katup dan pericardium. High output HF ditemukan pada penurunan resistensi vascular sistemik seperti pada hipertiroid, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri, dan penyakit paget. Secara praktis kedua kelainan ini sulit untuk dibedakan.

3. Gagal jantung akut dan kronik

Contoh klasik gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark mikard luas. Curah jantung menurun tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.

Contoh gagal jantung kronik adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan. Kongesti perifer sangat mencolok, namun tekanan darah masih dapat terpelihara dengan baik

4. Gagal jantung kanan dan kiri

Gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan ventrikel, meningkatkan tekanan vena pulmonalis yang menyebabkan sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi akibat kelemahan ventrikel kanan, seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehinggal terjadi kongesti vena sistemik yang menimbulkan edema perifer, hepatomegali, distensi vena jugularis

Patogenesis gagal jantung

Gagal jantung sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokardium yang mengakibatkan remodeling structural, lalu diperberat oleh progresivitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindroma klinis yang disebut gagal jantung.

Remodeling structural ini dipicu dandiperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relative normal (gagal jantung asimptomatik). Sindrom gagal jantung yang simptomatik akan timbul bila faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark jantung, anemia, hipotiroid, dan kehamilan, aktivitas berlebihan, emosi, atau konsumsi garam berlebihan, emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simptomatik juga akan tampak bila terjadi kerusakan miokard akibat progresifitas penyakit yang mendasarinya. Skema dibawah ini dapat menerangkan patogenesis terssebut :

Gambar.2. 6. Patogenesis gagal jantung

New York Heart Association (NYHA) mengklasifikasikan gagal jantung menjadi 4 berdasarkan berat ringannya :

Clas I : Minimal

Tidak ada keterbatasan aktivitas

Aktivitas fisik ringan tidak menyebabkan sesak, fatigue, palpitasi, atau angina

Clas II : Ringan

Aktivitas fisik sedikit terbatas

Nyaman pada kondisi istirahat

Aktivitas biasa menyebabkan sesak, fatigue, palpitasi, atau angina

Clas III : Sedang

Aktivitas fisik nyata terbatas

Nyaman pada kondisi istirahat

Aktivitas ringan (dibadingkan dengan aktivitas biasa) menyebabkan timbul gejala

Clas IV : Berat

Pasien tidak dapat melakukan aktivitas fisik tampa ketidaknyamanan

Angina atau gejala gangguan jantung lainnya tetap terjadi pada kondisi istirahat.